Sabtu bersama Kastrad di penghujung Maret (2021)

aisyah.
2 min readAug 6, 2024

--

Sudah seminggu saya bolak-balik mengecek poster acara kastrad yang diedarkan di grup angkatan. Ada banyak hal yang saya pikirkan setiap kali broadcastnya dikirimkan, salah satunya saya sebetulnya sedang malas ikut acara serius seharian. Tapi sialnya tema kemahasiswaan yang diangkat membuat saya terpancing untuk mendaftar, hal ini membuat saya sedikit sebal karena artinya tinggal menunggu waktu untuk meletakkan ego sebentar demi memuaskan hasrat penasaran. Walau saya bilang akan hadir karena terpaksa, tidak lantas bisa menutupi binar-binar fiktif yang berlarian di sekitar kepala yang saya kira sudah redup belakangan.

Peran mahasiswa masih jadi menu yang seakan tidak pernah habis dimakan walau terus-menerus disuguhkan, mengenai bagaimana kita adalah agen-agen perubahan, sebagai kontrol-kontrol sosial, bahkan sebutan pencipta dari ruang-ruang bersejarah yang lahir di sepanjang peradaban. Tapi bagaimana bila subjek-subjek yang seharusnya membuat kisahnya sendiri, merancang kemenangannya sendiri, merayakan keberhasilan atas usaha-usahanya sendiri, bahkan tidak sadar atas peran yang sudah dianugerahkan?

Seperti yang disebutkan Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran, bahwa “Generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia”. Tentulah tidak pernah mudah menyalurkan tongkat estafet pergerakan baik dari satu generasi ke generasi berikutnya, maupun dari satu generasi ke sesamanya. Menyoal apapun — seperti yang kita semua tahu — kaderisasi paling sistematis dan terstruktur pun tidak akan bisa dijalankan tanpa subjek pengkaderan. Sehingga untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan diperlukan aktivitas mengkader, bagaimana proses pembumian prinsip-prinsip dapat diterapkan dan disebarluaskan sehingga nantinya bisa dengan mudah didelegasikan.

Momen pengkaderan kastrad di tahun kedua perintisan ini membawa audiens pada banyak hal, mereka bicara mengenai prinsip-prinsip dasar kajian, bagaimana merancang aktor, sumber daya, dan otoritas yang kemudian dikaitkan dengan metode advokasi, peran kita di dalamnya dalam menciptakan propaganda, beserta kaitan dan aplikasinya terhadap isu-isu yang tengah terjadi. Melaluinya saya jadi diingatkan kembali bahwa di dunia yang katanya sudah modern ini suara mayoritas masih jadi otoritas tertinggi dibanding substansi kebenarannya sendiri, bahwa di era yang katanya sudah seri 4.0 ini masih banyak pembungkaman tersirat maupun tersurat dari pihak-pihak yang seharusnya malah jadi penyelamat, bahwa di tahun keduapuluhdua pasca reformasi mahasiswa tidak semuanya punya wadah ekspresi dalam penyaluran keresahan atas hajat banyak umat. Hal-hal semacam ini yang mendasari pentingnya peran departemen kajian strategis, aksi, dan advokasi. Bahwa kastrad tidak hanya perlu dimiliki oleh mahasiswa politik tapi seluruh mahasiswa dengan keilmuan manapun tanpa terkecuali.

Kalimat favorit saya hari ini, yang disampaikan oleh salah satu narasumber, adalah bahwa indikasi keberhasilan dari suatu aksi tidak selamanya berasal dari dikabulkan atau tidaknya tuntutan kita. Yang lebih menarik adalah meski tuntutan kita diacuhkan, bahkan setelah aksi besar-besaran, namun bisa ikut terdengar sebagai salah satu topik yang diperbincangkan oleh tetangga sebelah kos bersama tukang sayur perumahan, tidak hanya mengendap di forum kemahasiswaan. Bagaimana masyarakat akan ingat bahwa banyak hal dari negara kita yang masih perlu diperjuangkan.

Panjang umur untuk segala hal baik yang dicita-citakan.

--

--